Di kota tua puisiku tak terbaca
Isak tangis bulan desember
Melawat raga
Dahulu,
Begitu menggebu kuburu waktu
Yakinku pada sejarah melayu
Seorang bayi laki-laki lahir dengan pusar terlilit syair
Namun matahari dieram hujan
Habis dimakan datuk-datuk penjaga pintu alam
Kemana?
Dimana jalan pulang bagi pengembara dengan kelakar tintanya
Bila hanya nama yang terpatri di atas batu nisan
Dan dinding dingin penuh gurindam
Tanpa hela angin dan sinar suar!
Hendak kubawa kemana janinku
Yang tumbuh tanpa baju
Bermain di atas lembaran waktu
Tertidur pilu dalam kertas kaku,
Atau memang di takdirkan begitu
Lenyap di lemari tua
Menyisakan debu saja?
Di kota tua puisiku tak terbaca
Bunyi serak jemari di atas pintal bumi
Satu persatu benang merujuk tanah lapang
Selembar songket anak perawan
Beguru lisan kepada kesunyian
Sampailah aku di utara pulau Bintan
Musik gazal menyambut sambat
Aku melepas lelah di bawah pohon rindang
Rupanya akal tertinggal di belakang,
Aku berjalan tak berbekal sampan
… Sedang,
Di hadapanku kerlap lampu negeri Johor tersohor
Tak mungkin aku melintas selat
Tanpa sayap-sayap cerdas
O, di kota tua puisiku tak terbaca
Rahimku pecah tanpa tanda baca
Haruskah kutinggalkan tangis bayi laki-laki yang lahir dengan pusar terlilit syair
Inang-inang meninggalkannya dalam ruang kering
Tanpa menggantungkan dua payudara di sisi tenpat tidurnya!
Di kota tua puisiku tak terbaca
Haruskah aku berbalik arah
Batavia!
Pulau dewata!
Taman bagi pengembara jiwa
Pujangga beranak pinak
Berundak-undak sajak
tpi251206