Tuesday, August 28, 2007

Sepotong Simbal untuk...

Sepotong Simbal untuk...
: meski puisi ini tak seindah persahabatan kita


Wibi,
sepotong batu dalam mulutku
kumamah hingga tak lagi seperti batu

sepotong ayat di atas lidahku
menujum dingin rautmu
lagu radiohead melagu
mengenang saat simbal menyetuh perut
karena...
... jatah makan kita
habis untuk sebuah lagu Creep saja

saat itu,
kita anak muda yang tak menghiraukan kekasih kita
kau hanyut pada senar bassmu
aku larut dalam dentum bitku
sampai kita diputusnya
digantung
tanpa meninggalkan bekas cinta

Wibi,
semoga antara bumi dan sorga
tak jauh bagimu
sepotong puisi dalam jantungku
lain waktu pasti akan menjadi lagu



mlg,peaceinrestmypa
l.l2007

Lelaki yang Menggulir Bola

wahai lelaki yang menggulir bola pada ujung telapak kakinya
dadaku hendak terbongkar, saat engkau terbakar
dalam rindu yang mengakar


dan aku melambai
senyumku berkecai
menanti dekap
akulah gawang sunyi
tanpa bunyi


maju!
bawa berlari kudamu
sepak segala rintang
sepenjuru langit dan lintang
benderang dalam ladang lapang


wahai lelaki yang menggulir bola pada ujung telapak kakinya
cintaku adalah darah kasihku adalah remah,
remah hujan di tengah laut pasang
membawa rindumu pulang
ke jantungku tuk bersarang

mlg180707

Si-Veronica

aku benci
kepada veronica yang selalu bicara
dalam selularmu itu, kekasihku


bukankah lidahmu t'lah bersepakat
tak ada wanita dalam hidupmu
kecuali aku?


sungguh,
aku benci si veronica
yang berjalan meliuk menggodamu
hingga aku di buat buta
cemburu gila


monyet kau veronica,
turunkan rok mu!
sebelum kubanting selularku

malang200607
[dimuat di riau pos 09 maret 2008]

Mannequin

sekali saja
ingin kupejamkan mata
berkedip melentik makna
bosan juga ternampak yang itu-itu saja
jalan raya sesak nyawa
manusia adalah serdadu yang bekerja paruh waktu


lihat mataku beli cintaku
harga yang melekat pada leher baju
begitu berlagu


kakiku pegal
tulang punggungku bertegap kekal
kapan aku boleh pulang tuan?


malang.070807

Pulau Galang Bukan Tanah Perang

Tentara Vietnam itu
Tersenyum gagu
Ketika satu peluru terbenam dalam paru


Mata cemas si gadis melayu menderas
Baju kurung, kerudung
Terlanjur bersarang di jantung


Tentara Vietnam itu
Kini menjaga kampung
Pulau galang bukan tahan perang

Tetapi ladang tempat mengubur kebencian
Dan menabur cinta
Yang tak pernah bersemi di sepanjang musim kehidupannya
:Lelaki Vietnam itu enggan pulang


tpi – 90407

*Pulau Galang adalah sebuah pulau di kepulauan Riau, tempat penampungan orang-orang Vietnam pada masa perang Vietnam.

Pasir Kekasih Hamba

Dan laut hamba bermuka muram
Pinggang hamba berlubang
Hilang anak, hilang sanak
Hamba mengubah jala menjadi cuaca
Bagi datuk-datuk hamba yang tiada lagi berpijak
Mengawang di angkasa


O, laut hamba bugil tiada berpasir
Mutiara hilang dicuri orang
Kapal tongkang, lalu lalang,
Temberang!


Kini hamba telah besar,
Telah pandai berbaju menutup malu
Tapi kapal tongkang tetap melaju,
Tiada malu


Budak laut mati di negeri orang
Kekasih hamba jua tak pulang-pulang
Tangan hamba membuka lumpur
Laut raya kaku terbujur
Ketam dan kerang,
Tiada seekor pun ikan


Ketika matahari berangkat petang
Airmata telah habis diperas penderitaan
Hati hampa penuh luka, hamba dijadikan janda
Oleh manusia-manusia moderen dan lupa jiwa


Kemudian hamba terpukau pada kisah pasir, kekasih hamba
Melekat elok di media-media cetak,
Tergambar indah di layar kaca
Oh puan oh tuan,
Mengapa terlambat datang
Perut melapuk
Tak mampu menahan ombak yang mengamuk



Tpi240307

* Dimuat di Batam pos 1 April 2007

Membalas Surat Shady

Dear Shady,


Telah kuterima suratmu
Dalam putaran hari yang hampir pagi
Bibirku gagu menerjemahkan bahasamu
Namun, kulihat samudra dalam getar matamu
Ombak dan riak bersendawa
Dalamnya mengubah segala beda


Pergilah ke gereja Shady
Di sana bangku-bangku sunyi menggigil
Sekali tak apa bila kau derapkan kata-kata
Sebelum batas nyawa terbaring di atas altar
Sebelum gedung-gedung, kota-kota
Di lahap, dibakar


Tentangku,
Tiap jelang malam aku duduk bersila
Berjaga waktu yang sewaktu-waktu
Datang menyergap dan membunuhku


Kini, hati juga jiwaku sakit
Di halamanku tak henti musihab
Tak henti bencana dan amarah
Mereka begitu populer!
Setiap hari di televisi, di rado, di media cetak!
Puisiku tak se-dasyat bencana Shady
Bahkan bila kau ada,
Namamu ta’kan pernah tersebut dan tercetak di sana


Shady, maafkan aku
barangkali suratku ini akan lama sampai padamu
Karena tukang pos itu
Baru saja mati tertimbun tanah longsor


Kulihat Namaku di Antaranya

Luka,
Kini aku mengenalmu
Ketika engkau menjala di ujung langit raya
Pedih perih engkau bawa
Mengarung kian rasa
Hingga angin engkau gulung sempurna


Darah,
Aku berdarah
Tumpah ruah
Sampai tulang-tulang terbelah
Tangisku barah
Dalam aspal selembar rambutku terbenam muram
Dihimpit daging-daging terbakar
Entah siapa, tak satu kukenal


Tubuhku berjalan seorang
Mencari tangan dan kepala
Tercibir bau anyir darah
Yang menguap dari mulut pemabuk


O, pemabuk itu mengangkat botol-botol birnya
Bersorak sorai
Menciumi patung berhala bagai kemenangan
Bagai semilir wangi kembang dalam musim semi pendosa


Kini, telah kujumpa tangan dan kepalaku
Tangan layu juga kepala yang tersipu
Orang-orang sibuk membacakan mantra untukku
Juga biksu, juga pendeta
Dan pedanda dengan udeng di kepalanya
Pula imam dengan Yasin yang menggelinding dari bibir
Bagai gelombang pasang memandikanku
Mensucikan aku dari dosa semu


Namun begitu terkejutnya mereka
Ketika aku mendekat dengan wajah penuh tanya
sebenarnya ada apa?
Tentu saja aku terluka
Tiada kata yang menjawab tanya


Di sepanjang kuta
Di dinding berdarah
Jerit panik korban angkara murka
Kulihat namaku di antaranya


Tpi feb07


Di Atas Selembar Sajada

Berkali waktu aku tersipu
Bercakap tak henti
Sering terisak
Bebulir doa tersangkut pipi


Sebuah kereta kuda dengan lampion dua
Mengantar perbedaan
Kita memang tak sepadan
Aku hamba kecil Engkau Tuan besar


Aku maju Engkau maju
ini sajada bukan lahan perang
Bibirku menebal
Beribu sajak terjungkal


Ini malam kembali mengembang
Mata berceria ceria
Kita bermuka muka
Satu meja dengan cangkir kopi kental
Engkau tiup tujuh balatentara
Merangkai pinta hamba


Aku terperanjat
Meloncat,
Dalam bilik kukemas bunga
Yang Engkau kirimkan baru saja


Telingaku menggigil
Merasuk hati tuk menggelar pagi
Dalam bentangan sajada ini
Kukirim jemputan kepada Tuan


“wahai Tuhan besar,
sajak hamba Tuan dengar
kini hamba tahu jalan”.

tpi24207

Di Kota Tua Puisiku Tak Terbaca

Di kota tua puisiku tak terbaca
Isak tangis bulan desember
Melawat raga


Dahulu,
Begitu menggebu kuburu waktu
Yakinku pada sejarah melayu
Seorang bayi laki-laki lahir dengan pusar terlilit syair
Namun matahari dieram hujan
Habis dimakan datuk-datuk penjaga pintu alam


Kemana?
Dimana jalan pulang bagi pengembara dengan kelakar tintanya
Bila hanya nama yang terpatri di atas batu nisan
Dan dinding dingin penuh gurindam
Tanpa hela angin dan sinar suar!


Hendak kubawa kemana janinku
Yang tumbuh tanpa baju
Bermain di atas lembaran waktu
Tertidur pilu dalam kertas kaku,
Atau memang di takdirkan begitu
Lenyap di lemari tua
Menyisakan debu saja?


Di kota tua puisiku tak terbaca
Bunyi serak jemari di atas pintal bumi
Satu persatu benang merujuk tanah lapang
Selembar songket anak perawan
Beguru lisan kepada kesunyian


Sampailah aku di utara pulau Bintan
Musik gazal menyambut sambat
Aku melepas lelah di bawah pohon rindang
Rupanya akal tertinggal di belakang,
Aku berjalan tak berbekal sampan
… Sedang,
Di hadapanku kerlap lampu negeri Johor tersohor
Tak mungkin aku melintas selat
Tanpa sayap-sayap cerdas


O, di kota tua puisiku tak terbaca
Rahimku pecah tanpa tanda baca
Haruskah kutinggalkan tangis bayi laki-laki yang lahir dengan pusar terlilit syair
Inang-inang meninggalkannya dalam ruang kering
Tanpa menggantungkan dua payudara di sisi tenpat tidurnya!


Di kota tua puisiku tak terbaca
Haruskah aku berbalik arah
Batavia!
Pulau dewata!
Taman bagi pengembara jiwa
Pujangga beranak pinak
Berundak-undak sajak



tpi251206

Di Putus Cinta

setinggi inikah barah
bagi cinta yang berdarah darah
tulang tulang di patah
rahimku beku tiada siapa di situ


purnama ini setangkup hati pergi
menghilang tak bilang bilang
hanya meninggalkan sisa bintang
cahya tak mampu menembus batas ruang
di mana malam jalang di hadang
aku dilucut hingga telanjang


atas nama Tuhan eros aku berteriak
demi janin panah yang Ia peram
hilangkan aku Tuhan!
sebelum pagi datang
maka tertawa melihatku gemetar kesakitan


dalam kegamangan hati
kulihat pagi hampir dipesisir
aku jatuh ke dalam jurang dalam
Hilang kan aku Tuhan!
di putus cinta
kini di sana, aku memetik bunga



tpi-191106

Dinar, Buku Dongeng Kita!

kulihat ihuru dalam tengkar mataku
angin melaju
bunyi buluh mendendang lagu
tentang karang tentang laut dalam
tentang nelayan nelayan legam
berdada telanjang


pantai putih yang melingkari tanah bundar
seranum padang serta pucuk gunung perawan
di sana embun dan asin garam
buah tangan tamu tamu Tuhan


kulihat ihuru dalam tengkar mataku
sebuah ruang kesunyian yang pernah menenggelamkanku
aku buta cinta buta dunia
meronta enggan bermuka
merajuk memalingkan muka
pada perahu yang melintas, membelah benam surya
:mengapa tak kau jemput aku pula


O Dinar,
tentu kau ingat kisah ruang kesunyian itu
yang pernah kulayangkan pada sehelai angin
tapi kini mata bukan lagi buta
melainkan mati raga
melihat segala duka
jerit pilu menggebu
dari dalam rahim ibu


O Dinar,
aku ingin pulang ke dalam ruang kesunyian itu
agar tak kulihat hujan dalam matamu
tubuhku gemetar
ladang bermain kita habis tenggelam
buku dongeng kita Nar! buku dongeng kita!


sungguh Nar, begitu gagu aku
melihat lumpur bagai segara
mencuri hidup kita
ya, mencuri buku dongeng kita juga


tpi-201106

Tentang Gurindam Duabelas

Kutulis puisi baru
Tentang tanah
Tentang sejarah
Tentang gurindam yang tiada pernah punah


Tuanku,
Seperti deru kapal kayu nelayan
Seperti ombak memukul rindu dendam
Seperti bayi kembar yang di takdirkan
Hidup di lautan
Pesan cinta yang engkau titahkan
Adalah sebuah tiang bagi anak anak
Bagi pengembala yang memberi makan ternak ternak


Dan mampuslah pendusta yang menduakan cinta
Menghapus pesan, melangkahi anjuran
Entah apa imbalan bagi kaumnya
Yang memecut punggung rakyat
Hingga memar, hingga berdarah darah


Tuanku,
Mari kita baca kembali
Agar tanah sendiri mengerti
Tentang cinta dan kehidupan
Tentang duabelas pesan yang dipanggil gurindam

Tpi – 021006
* Dimuat di Riau Pos Januari 2007

Dalam Sebutir Telur

Dalam sebutir telur
Kudengar orang-orang bertafakur
Kumandang adzan gemakan kampung
Pulau penyengat tak pernah penat
Menjaga badan menjaga iman


Di masjid raya penyengat
Seputih telur dieram tahun
Mengukur jaman Raja Abdullrahman
Menjadi warisan kepulauan


Dalam sebutir telur
Di subuh yang masih mendengkur
Telah ribuan kali biji tasbih menggelinding teratur
Namun dinding, dan tiang, dan kubah
Masih berdiri kokoh dan tabah

Tpi-241206

*Masjid Raya Sultan Riau di pulau penyengat dalam proses pembuatan adalah di gunakannya putih telur sebagai campuran semen untuk dindingnya. Hingga kini Masjid Raya penyengat masih berdiri kokoh dan menjadi pusat wisata di kepulauan Riau

Malacca Welvaren

Gelombang-gelombang di gulungnya
Buih adalah anak-anak panah
Melubang pinggang
Seketika kidung kematian
Meluncur dihantar derak serak


Malacca welvaren
Yang sehari lalu bersenandung lagu
Pada senja ini lumpuh kaku
Dalam detik surya terbenam
Perlahan tenggelam
Disaksikan ikan dan teripang
Dibunuh si Marhum teluk ketapang

Tpi – 24/12/16

* Malacca welvaren adalah nama kapal belanda yang berhasil di tenggelamkan oleh Raja Haji Fisabillilah dan pasukannya.

Di Bukit Kursi

Di bukit kursi
Erangan mesiu
Dentuman-dentuman itu
Hilir mudik
Dalam lubang telingaku


Sorak angin membawa wangi garam
Di bukit kursi, dahulu
Anak-anak pulau bermain meriam
Rumput dan lalang menjadi saksi perang


Lalu kutemu benteng itu
Wajah pasi telah berlalu
Perlahan dan ragu kusentuh penuh haru
Kulit wajahnya biru terluka
Tergilas hujan dan terik berbulan-bulan


Di bukit kursi
Kulahap sejarah sendiri
Mataku berpendar
Tubuhku berputar
Kuhirup senja yang menetaskan lautan jingga
Sontak jiwaku melepuh
Diruntuh rindu dan kasih penuh


Dalam gambar kesekian senja yang menoreh alam raya
Sampan-sampan pulang
Burung-burung terbang ke sarang
Nelayan-nelayan bermuka girang
Membawa pulang hasil tangkapan


Pada akhir senja di antara malam yang belum sempurna
Di bukit kursi! Di bukit kursi!
Kulihat senyum dari seorang raja api

Tpi – 22/12/06

*Bukit kursi adalah daerah berbukit di pulau Penyengat digunakan sebagai benteng pertahanan, di bangun pada masa pemerintahan Yang Dipertuan Muda Raja Haji Fisabillilah

Indra Sakti Melingkar di Jemari

Telah kulepas tali kapalku
Perlahan berlalu
Kutinggalkan kesendirianku
Dengan senyum
Dengan layar dan mengarung


Kepadamu engku putrid raja Hamidah
Semaikanlah benih cinta
Telah kusiapkan seribu hektar jiwa
Tempat kita menebar gelora
Pada tengah senja dengan rupa
Yang belum begitu sempurna


Aku menunduk hikmat kepada pencipta
Bersipuh di muka ayahanda
Kiranya restu menjadi lautan
Tempat angin dan garam dan gelombang
Sebagai panduan


Kepadamu engku putri raja Hamidah
Kurebahkan kesepian
Mataku berkaca bagai laut terhuni bulan
Seharu cinta, seharu Indrasakti
Yang melingkar di jemari


Tpi – 22/12/06

Surat Cinta Sultan Mahmud

:kepada Engku Putri Hamidah

aku mendayung
hingga terdengar degup jantung
dan sampai di sebuah labuhan ujung


dalam keheningan malam
dengan pendaran bintang perawan
kurampas parasmu
kurekat pada langitku


oh wanita
begitu elok kamu
mencubit sukma
jiwa ksatriaku di tundukkan cinta


oh Hamidah
atas nama langit dengan tujuh dewanya
sambutlah sambatan jiwa
jadilah raja dalam isi raga
sepanjang dunia
hingga sorga


Tpi- 22/12/06

*Sultan Mahmud adalah suami Engku putri Raja Hamidah (pemegang regalia pada masa kerajaan Riau-lingga), dan pulau Penyengat menjadi mas kawinnya. Dahulu pulau Penyengat di kenal dengan sebutan Indra Sakti.

Barelang

Tempo dulu
Cintaku ditanam lautan dalam
Kekasihku hilang ditelan gelombang
Kusebrang rindu
Namun dibunuh jarak nan berliku


Di pagi ini
Aku berdiri dalam beku dan sunyi
Mengukur tangis sepanjang bunyi
Sekejap memuntahkan tragedi
Manusia dan kemajuan duniawi
Menghapus gambar-gambar alami


Oh di barelang kekasihku,
Di barelang engkau kutunggu
Sepanjang rahang-rahang jantan,
Meminang laut dan daratan
Namun hingga ketujuh hujan
Engkau tak kutemukan

Tpi-201206

*Barelang adalah nama jembatan yang menghubungkan antara pulau batam, rempang, dan pulau Galang di kepulauan Riau

Kembali ke Langit: Perempuan Bersayap

lalu aku bercermin pada air mengalir
menyisir rambut, menatap lumpuh
pada sebuah perjalanan yang akan kutempuh
ya, aku pergi dengan mata berkaca
dan bibir dan tubuh gemetar


wahai kekasih yang menjelma pada wangi musim lalu
sudah kulepas jantungku
yang pernah menggantung engkau di situ
kuhanyutkan pada sungai menuju batas segara
tempat engkau bermuara


kini aku diludah embun
berteduh pada sebatang pohon cemara tua
tapi tak lama
kembali surya menawarkan cerita


sampailah aku di puncak bukit
jalanku buntu di putus samudera
oh biru itu begitu mempesona
serupa teduh rahim ibu
tempat aku belajar menjadi biksu


dan langit menatapku bahagia
aku sangat mengerti tatapannya
dalam wajah senja kuhadang angin
kukepakkan sayapku
aku mengerti benar, meski habis jalanku
masih ada langit yang kan menyambung
sampai hujung

tpi – 191106

* Dimuat di Riau pos Ahad (31/12/06)

Banyuwangi

Siapa duga
Kekasih mendua
Membagi hati
Ke lain lelaki


Leher bagai terpasung
Ada sihir menjambak jantung
Aku murka menggoyang samudera
Birahiku memetik senjata
Biar mati jua tak mengapa
Mampus cinta di koyak emosi jiwa


Dan kuhunus pedang itu
O dewa
Mataku basah
Sesalku parah
Kekasih di hanyut sungai
Deru banyu, wanginya melambai deru
Layu wajah ayu
Aku pikir bersumpah palsu



Tpi - 231106

Umbu: Aku Ingin Pulang ke Sumba

Umbu,
Aku ingin pulang ke Sumba
Ke padang hijau
Tempat kita menerbangkan layang-layang
Jiwa tak berduri menari
Bebas di langit lepas
Senja terasa memelas
Kita pulang menunggang kuda
Dengan senyum puas


Umbu,
Masihkah sabana bersungai hijau
Bagai cahya berlian saat embun pagi datang
Berjingkat-jingkat di puncak tidurnya
Bawalah aku ke sana
Akan kudirikan kemah
Karna kini tak ada rumah


Hela nafas tak sampai
Tangis si anak hilang
Nisan ibu benar benar malang
Sepatu di khitan orang
Kakiku bulat telanjang


O Umbu,
Lumpur lumpur itu menagih hutang
Rumah, kompor, juga panci ibu
Dan layanglayang kita dulu
Dirampas dari tanganku


Umbu,
Aku ingin pulang ke Sumba
Di bawah jembatan tol porong mataku mengiba
Menanti waktu tiba
Berharap ada bus yang akan membawaku
Ke sana, ke Sumba!

Tpi - 231106

Terusir

lalu pada selang waktu
suaramu membunuh pita-pita suaraku
kau potong
aku melolong
dalam malam, dalam dada bergetar


Oh kekasih
di kediaman sunyi, di kabut dini hari
mataku berdarah
meruah-ruah
tumpah

aku dan anak-anakku
terusir darimu


Tg.Pinang - 02/11/06

Membaca SMS mu

membaca sms mu
serupa menatap hujan
aku hilang tenggelam
dipukul riuh ketakutan

dadaku bergetar di tingkahi kesal
kututup wajah kuraung kisah


Oh kekasih yang menghidup dalam pengembaraanku
sms mu itu menghujani hatiku

Tg.Pinang 191006

Pasien Kesunyian

Malam buta di mana-mana
Pasien sunyi bugil mimpi
Berderik jangkrik
Bunyinya gelisah
Memasuki lorong panjang
Berliku selang
:akar-akarku berlubang


O inikah kekalahan
Atau di sapa Tuan
Mengapa dinding dan kasur putih
Gigil angin meliukku
Tersangkut di pucuk pohon randu
Dipatuk-patuk elang lapar
Aku dikunyah mentah-mentah


Kemudian ruh pun tersentak
Rupanya denting infus
Menyulap telinga,
dua biji mataku di perdaya

Degup Dada

Kudengar gempa di palung dadamu
Gemeretak serentak gelombang
Mengirim penujum tua
Dijadikanlah mataku buta


Wahai dada yang mengirim harum musim
Kubiarkan pelepahku bersandar
Biarlah telingaku pintar,
Menghitung segala asal


Lalu, jemariku merambati jantungmu
Menahan degup kebangkitan
Pukau mataku bertanya
“aku terlalu haru,
mendapatkan tubuhmu dalam pelukanku”, jawabmu

Tpi – 11 Nov ‘06

Kita Pulang Meninggalkan Bali

: Kepada leny


Kepada sahabatku Leny,
Lihatlah! Kita mengembara menembus celah surya
Tiada peluh kata untuk menyudah
Hingga kita arung benua Afrika
Namun jiwa kita dipatah
Angin-angin dari pucuk atap pura


Mari kita kenang bau dupa yang melayang senang
Menari nari mengetuk ketuk hati
Sepanjang kuta hati dinodai
Oleh segara oleh dewa dewa raya


Duh Leny…
Suara gamelan itu merobekku
Aku melihatmu menyelipkan sekuntum kamboja di kupingmu
Kau menari, aku berpuisi
Kita berkebaya sembari duduk melihat jari jari kita bernyanyi


Namun…
Hujan tiba dengan langkah tergesa-gesa
Kita terguyur air
Mata kita basah hati kita resah
Kita pulang dengan langkah gontai
... Kita pulang dengan hati berderai

Tanjung Pinang – 25 Nov’06

Pada Selembar Angin

kutulis surat
pada selembar angin
biar rindu tersambung
mengetuk pintu rumahmu
yang beratap jerami

semut-semut nakal ini mencibirku
ketika aku merunduk di balik ladang jagungmu
mengintai pintumu, meningkahi parasmu
saat kau jemput suratku pada daun pintu

ah, begitu indah jarimu membuka lembar suratku
jiwaku mengeras, sekejap dadaku menjadi buta
kau meniduriku begitu rupa
aku,kau, menggelepar
dan ladang jagung ini
berubah menjadi ladang ganja
aku kecanduan seulam cinta

begitulah hawa
lamunku tentang surat
yang kugurat pada selembar angin
masihkan ia berlayar
atau sudah berlabuh
dalam landai tanganmu

:duh, jantungku berdegup-degup!

Di Petilasan Ken Dedes

aku datang dengan dada berlubang
tertembus sebusur panah
sekujur tubuh gemetar
aku menunduk pucat,
dan darah menarik pasang
di petilasanmu, mataku pudar bergentayang


panggilah Tunggul Ametung, Ratu
atau Ken Arok sekalipun
akan kutanya tentang jiwa-jiwa ksatria
yang mati di medan laga
dibunuh cinta, dibunuh Tuhan-Tuhan yang berbeda


adakah dewa bagi mereka kaumnya
dewa penghisap purba dan pemecut kebencian
pada kita yang berdada ombak
hingga dipatah sedemikian rupa
serupa angin tanpa desir
serupa rintih sekarat, senyum kita cacat!


Harummu menyumpal lubang dadaku, Ratu
harum yang dibawa angin semilir
memanggil dua ekor kuda jantan tuk menarik kereta kita
menyusuri asin garam yang terpesona pada lautan


kemudian,
engkau memaling muka
bersembunyi di bilik bulan
tak kusangka bulirmu tumpah

tanah- tanah bergemeretak retak
dan suara lembut menetesi dari lembar bibirmu
“betis kita memang selalu ditetak luka” katamu

[Malang – 10-11 okt ‘06]

Pantai Kuta

: Kepada WS

di pantai Kuta kita duduk bersila
menghadang laut berombak gelora
serupa malam kelam
serupa hati kita
serupa lorong, yang kita basahi oleh desah
dari mulut-mulut botol


hanya bintang dan deru pejalan
terkadang musik kafe pinggir jalan
berebut memasukkan logam
dalam lubang telinga


lihatlah!
Kita diapit siluman-siluman kecil
berciuman, berpelukan, menjarah panjang pasir
tubuh Kuta menggigil


Namun, kau terus menegak minumanmu
sambil berserapah pada kesendirianmu
dan aku, hanya sibuk mengenal lautmu
mengapa buihnya enggan menyapaku


[Kuta, 23 Sep' 06]

Pejalan Sepi

kita memang pejalan sepi, kekasihku
melintas batas hingga kita sama-sama tak mengenal
lalu dijodohkan angin
kita berdiri berhadapan,
terpaku, lalu berpelukan


mungkinkan engkau Rama, dan aku Sinta?
Yang hanya berkasih kasihan di bilik masing masing
lalu aku diculik Jin
yang rupanya penjaga pintu angin


tahukah engkau sebuah danau masa lalu
yang kini menjadi kolam tanpa kehidupan di tengah taman kota?
Itu bulir air mataku, kekasihku
saat kau ucap “ kita pejalan sepi, di takdirkan tersenyum sendiri”.

[Malang – 9 Okt ‘ 06]


Penumpang Kapal

Dalam kapal penumpang Dobonsolo ini
Bermacam warna beragam bunga
Lalu lalang orang-orang
Kemana hendak mereka tuju?
Yang nampak hanya selujur harap dalam tatap lekat


Kelas ekonomi mengantri makan dengan piring ompreng
Kelas VIP makan sambil dilayan dengan meja lebar besar
Tetapi rasa suka begitu sama
Ketika bunyi suara menggema
“ ABK deck, siap muka belakang”!
…serang kiri, serang kiri
anak tangga menjulurkan birahi
satu persatu orang datang dan pergi


kulihat perempuan berdiri di lambung kiri
matanya basah oleh kenangan
tentang ombak tentang perompak
dan dilepasnya sebatang bibir memar
O cintaku
Kembalilah kepada muasalmu


Seorang penarik tali kapal hampir mati
Aku terlalu lama di sini
Hingga anak bini tak tahu sampai kini


Kemudian, di antara ribu penumpang ekonomi
Gadis muda menulis pesan
“ibu, aku hampir sampai di Malaysia
di sini begitu tenang, begitu nyaman
hingga aku tak tahu apakah harus terus lurus
atau berbalik kembali kepadamu”.


Dan aku…
Kembali ke dalam kamarku
Lalu lalang orang-orang di luar
Dalam kepala tumbuh mekar
Ladang labirinku melingkar lingkar
:ah aku tak menguasa

KM Dobonsolo – 20 Okt’06

Malang Hujan Abu

aku dipatah angin
jiwa renyai bunyi buluh melambai
dalam lingkar gunung gunung
dalam desir gurun gurun
bebutir tangis berderai turun


Arjuno, benih siapakah ini?
Cintaku baru saja karam dirajam gelombang
begitu padat kusumpal kolom mataku
tapi entah siapa menyebar tangis baru
kuhirup kerikil lukamu
paru paruku dihuni abu

[Mlg - 10 Okt ' 06]

Monday, August 27, 2007

Ke Jaring Nelayan Tua

aku berlayar pulang ke dalam
:jaring nelayan tua
nampak laut dangkal memaku ombak
taman bermainku tumbuk semak
rumput rumput tak ku kenal berserak


tak sedikit pun kuhirup wangi kembang
hanya bau hantu hantu laut bergentayang
menghuni gelombang
merajai lautan


dalam puluhan kali perjalananku
aku selalu berdiri diam menetak anjungan
di mana keabadian?
aku atau laut sekalipun
tak pernah mampu mengumpulkan hitungan


kapalku bergetar,
degupku menjalar
selat sunda tak ku kenal
mengocok perutku, segala kehidupan meruah, berdarah!


dan kemudiku mulai renta
bau cangkang telanjang
si nelayan tua bertepuk girang
ayunanku berdebu, usang




[Di atas kapal laut - 20 okt’06]
* Dimuat di Batam pos 1 April 2007

Paiton

Paiton!
Aku mengulang langkah pada pelipismu
Kau menjelma kuasa
Mengupah malam menjadi buruh
Benderang terang dayamu meluas pandang


Warung warung kecil di pinggir jalan
Menjadi penghias tanpa tamu
…sepi, sepenjuru sunyi
tak ada gelak secangkir kopi
hanya ada aspal yang tergilas berkali-kali
menguap, menjelma, menjadi ungkapan sakit hati


On the bus/23 Sep’06

Pilar Jendela

lalu,
kugambar airmata
pada pilar jendela
namun mata silap menatap
sesungguhnya pilar jendela
adalah penjara
... dan sayapku terhimpit
menyipit


lalu,
hujan menderai
menyangkut puting bantal
mencetak segala kesal
namun langit enggan diam
dadanya bergemeretak
tak henti menyesak

Tg.Pinang - 050906

Pada Bibir Botol Bavaria

: Non Alcoholic Drink

Dalam bundar bibir botol Bavaria
Kumandikan dahaga
Berlembar ombak melintang
Serpih terhuyung-huyung
Semacam berlari karung


Sepi memang sakti
Rasa apel ini menyita hati
Aku beranak puisi
Sembari menegak gulungan gelombang
bunyi renyah, mata basah
Sebotol Bavaria non alkohol
Menepuk-nepuk
Mengangkatku menjadi dewi penjaga jiwa
Jiwaku sendiri!


Pada bibir botol Bavaria aku bercinta
Mari, kerahkan bala purba
Di antara malam purnama
Bayi-bayi lahir
Menjelma seperti dongeng belukar
Yang tak hilang oleh gedung-gedung perkantoran


Ihuru, Maldives - 140806

Klenting Kuning

kulukis langit dengan matamu
biru cahya rumpun seroja
kabut putih serupa awan
bermain ayunan
kurasa
kita telah ternoda
oleh waktu yang cemburu


klenting kuning,
hanya kau yang mampu memungutku
tak pula penyu yang telah merawani pipimu
atau dera rayu kakak-kakakmu


sungai ini
menjadi saksi
ketika jatung bergetar
mendekap erat bundar kepalamu
...dan lembar kupingmu
menjadi gagu
saat detak jatungku menjalar
memenuhi lapang dadaku


Klenting kuning,
rinduku tak pernah usai
melandai pucuk-pucuk akasia
hingga gugur dilayang daun
terhempas di atas batu nisanku
di pelataran senja keemasan

Ihuru – 130806

Porong Kiamat

aku terbang di atas lumpur hitam
wajah-wajah kejam
menutupi kehidupan
sawah terendam dendam
belerang bergentayang
di sisi jalan rumput-rumput telanjang
terisak-isak
bening matanya retak


di pilar jembatan tol Porong tertulis pesan
"Porong kiamat! Porong kiamat!"
tersentak alir mataku menguak
"rumah, sekolah, sepatu,
astaga! buku dongengku...


berkali-kali kuusap mataku
menangisi buku dongeng tentang tanah kelahiranku
perang ini mencalar hati
dan roda waktu berlayar pergi
bening mata perawan
tak kan mungkin tergantikan, tuan!


Ihuru – 100806

Jakarta

Jakarta tamat kulamat
Jendela keretaku terlalu diam
Hingga gubuk gubuk liar semakin mencakar


Dan kulalu kota penuh luka itu
Kuhampir pada ruang pekat
Entah apakah sawah sawah
Atau bebukit resah yang telinganya ruah
Oleh derap kaki keretaku


Kekasihku,
Hatiku terbata bata
Rinduku padamu mengental
Lampu bolam di pinggir jalan tak kukenal
Keretaku berhenti berpikir
Aku pikir hanya bus dan mobil yang punya lampu merah


Aku belajar berlayar di atas daratan
Dimana cinta dan luka menganga lebar
Lalu kuhapus gelombang
Kembali kulihat roda roda baja berputar

On the train – 170906

Jkt - Mlg

Di Ribut Jakarta

jalan Bangka di ribut Jakarta
menendang nendang selokan
rumah rumah kecil di pinggir empang
menyambut ramah
tak malu meski tangannya basah

sementara ini aku hidup menjadi pembunuh, pak
dalam lambung ikan mati
aku mencabuti hari
kulihat tukang sol sepatu menggantung diri
karena dituduh meracuni kaki

di sesak metromini aku bergelayut bagai monyet kehilangan ingatan
debu, bau, panas, dan pekik keringat
bermusyawarah membangun daki
air liur begitu mahal
lorong kering
jauh hujan apalagi petir

jalan Bangka dalam rahim degup purnama
dimana malam menyumpal mimpi
tak ada lagi suara anak anak kecil
bermain jengket seperti tadi pagi



Jakarta – 150906

Aku Perempuan Sudra

debu-debu yang melekat di dinding kamarku
terdiam
menatap iba padaku


leherku mengeras
menahan beban deras
menimba embun
namun semua
tak mampu tertampung
dan akhirnya seribu ombak jatuh berdegum
menampar paha
meronta-ronta


seekor semut merenggut mataku
berkotbah
membacakan mantra
"perempuan sudra sepertimu
memang tak pantas diasuh waktu
semua lalang melayang
semua teman hilang
semua cinta terbang"


uap panas dalam bolam mata ini
melecur, mengabur
aku berayun kembang tidur
tegak di antara rimbun padang ilalang
memanggilmu
terus menerus memanggilmu
hingga genderangmu buta
pekikku tak kau baca


O brahmana
aku melambaimu,
telah kusiram sejumput sajak dalam bising embun
kutata rumput-rumput untuk alas tidurnya
tetapi mengapa pagi dan malam bertengkar
menyumpah serapah
menudingkan pedang kemarahan
mengataku "Sudra adalah tanah basah, penuh nanah"!


wahai eros
adakah pahala untuk pengabdi cinta
mungkinkah hanya lembah airmata
bagi aku, perempuan Sudra

Ihuru - 240806

Air

cik..
cik
air bergemericik
mengalun
menyambung
ke ruas segara
berkelana

kakiku bergemericik
ikuti panjang angin
nasib memang seperti air
mengalir

Ihuru – 240806

Aku Tersesat Dalam Jiwa Ungu

Aku tersesat dalam ombak rambutmu yang kelabu
Di manakah aku berada?
Mengapa getar begitu perkasa
Mengikat kaki
Menggerat hati


Hutan bakau sunyi galau
Riuh ombak melandai akar
Kepiting tua merayapi dupa
Asap-asap terlalu setia


Aku tersesat
Dalam jiwamu yang ungu
Sepi kolam matamu
Tak satupun ikan mengalir di situ


Biji-biji mendung yang turun berkabung
Melepaskan tambat tali sampanku
Aku mendayung
Menyusup hingga hujung
Kemana tanjung
Yang baru tergambar pada mataku


Di manakah aku berada?
Masihkah dalam badai cinta


Ihuru - 100806

Tak Seorang

Tak seorang pun yang tau
Kemana angin melaju
Tak pula ke barat
Atau turun mendarat


Tak seorang pun yang tau
Kemana usia mendayu
Tak pula bunyi buluh pengembala
Atau berisik ketam dalam asin garam


Tak seorang pun yang tau
Kemana nasib menuju
Adakah hanya berlalu
Atau mendekat tapi menipu


Begitu pula aku
Adakah sisa lekat untuk anak cicitku
Atau sedekah pengemis jalan
Yang tikarnya dicuri orang?

Ihuru – 070806

Tiga pulau

Tiga butir kacang
Mengapung tenang
Hijau disiram
Bertunas garam


Kurumba-kurumba
Perjaka jaka
Desirkan hati
Dikulum birahi


Tiga pulau mengapung di atas samudera
Pulau tengah itu penuh luka
Ihuru namanya



On the boat, north male atoll – 040806

* Tiga pulau: Ihuru,Vabbinvaru,Baros
* Kurumba : Kelapa

Seaplane & Ikan terbang

Di atasku penuh awan
Kapal-kapal terbang
Menggarap ladang



Ikan terbang
Melayang
Menerjang lawan
Aku ingin laparku hilang


On the boat, north male atoll – 040806


Pejalan Laut

Aku berlayar
Di atas laut yang buihnya berwarna abu
Entah malam menganiaya
Atau matahari yang diperkosa
Mengapa langit begitu rupa
Bisik sakit terlalu menganga
Dalam lubang telinga


Kapal-kapal dagang
Turun jangkar
Di tiang-tiang benderanya
Melabuh sekeping cinta


Akulah pejalan laut
Dan mereka anak buah kapal
Berpapasan
Tanpa lambai, selamat tinggal

On the boat, north male atoll – 040806
*Dimuat di Batam pos 1 April 2007

Lelaki dan Deru Mesin

Di depanku ini
Lelaki berselanjar
Matanya nyalang
Menyingkap sebatang paha wanita
Di sebelahku


Di depanku ini
Lelaki berselanjar
Matanya berkelip
Menghadang langit


Deru mesin kapal
Menjadi musik jalanan
Pengamen-pengamen nakal
Mencabuti bulu ombak
Lalu dihirupnya


Lelaki di depanku ini
Sudah bermimpi
Menutup mata
Seperti rela dijamah nahkoda



On the boat, north male atoll – 040806

Pengembara Malam

Jiwa sepi penghuni
Lampu-lampu jalan karam
Pedagang-pedagang kaki lima hilang
Satu sepatu wanita terkapar
Di tepi jalan pasangannya di makan malam


Di mana bingar
Atau asap rokok yang pernah kau hisap
Dan kau lempar ke jantung?


Buih kisahmu memukulku
Pelacur di tengah kota sepi
Dosa dilumatnya menjadi sebutir nasi


Ah, bibir mendesah
Lagu-lagu kematian mengarak
Bening menggelinding ke dalam pusar
Pelacur bangkit
Mengapa tak Kau cipta aku menjadi tanah saja, Tuhan!



Male,salsa café/040806